Kenapa Kita Perlu Menepi? (Informasi ringan)
Pagi itu, di tengah kereta yang padat, gue sempet mikir—kenapa semua orang tampak sibuk padahal tujuannya sama: sampai ke kantor. Notifikasi berdentang, berita menggulung, dan kita terus mengikuti ritme yang tampaknya ditentukan oleh aplikasi di ponsel. Agama dan filsafat, dua hal yang biasanya terasa berat, justru jadi alat sederhana untuk menepi sejenak. Bukan untuk lari dari dunia, tapi untuk melihat kembali apa yang sebenarnya penting.
Opini: Agama sebagai Kompas Bukan Tali Kekang
Jujur aja, banyak orang melihat agama sebagai seperangkat aturan kaku. Tapi bagi gue, agama bisa jadi kompas—petunjuk arah moral yang fleksibel. Dalam kehidupan modern yang cepat berubah, ritual keagamaan kecil seperti doa sebelum tidur atau refleksi singkat bisa jadi momen restart. Anehnya, ketika gue mulai menganggap agama sebagai ruang bertanya, bukan jawab mutlak, pandangan hidup gue jadi lebih lapang. Ada ruang untuk ragu, ada ruang untuk kasih sayang.
Filsafat: Nggak Cuma untuk Dosen, Kok
Filsafat seringkali terdengar berat: metafisika, epistemologi, eksistensialisme. Tapi di pagi lain, gue teringat percakapan singkat sama teman yang lagi galau soal pekerjaan. Dia bilang, “Apa sih makna kerja kalau cuma buat bayar tagihan?” Itu pertanyaan filosofis sederhana. Stoikisme mengajarkan bahwa kontrol atas reaksi lebih penting daripada kontrol atas keadaan. Gue nggak jadi filsuf hebat, tapi belajar memisahkan hal yang bisa gue ubah dan yang nggak cukup membantu menurunkan kecemasan saat deadline napak tilas.
Antara Spiritualitas dan Kehidupan Sehari-hari (Sedikit Ngomong Receh)
Kadang spiritualitas terasa idealis—seperti poster motivasi di warung kopi. Tapi spiritualitas juga bisa sesederhana menyiram tanaman tiap pagi atau mendengarkan lagu lama sambil memasak. Gue pernah nemu artikel menarik di devilandgod yang membahas ritual kecil sehari-hari sebagai cara membumikan spiritualitas. Bukan soal seremoni megah, melainkan konsistensi kecil yang bikin hati lebih stabil. Kalian tahu kan sensasi kecil itu: secangkir teh hangat dan napas panjang di sela kesibukan.
Ada cerita kecil yang selalu gue inget: waktu hujan deras dan gue terpaksa lewat jalan yang banjir, ada seorang bapak yang tetap tersenyum dan membantu orang nyebrang. Dia nggak bicara soal agama secara gamblang, tapi tindakannya adalah agama dalam bentuk nyata. Di balik kebisingan modern, kebaikan semacam itu rasanya seperti bel rumah yang mengingatkan kita: “Hey, masih ada yang bisa kita lakukan.”
Kehidupan modern memang menggoda: kemudahan, informasi instan, serta godaan untuk selalu produktif. Tapi keasyikan produktivitas juga bisa bikin kita lupa badan butuh istirahat dan jiwa butuh keheningan. Gue sering ingat nasihat sederhana dari guru kecil yang bilang, “Hidup bukan lomba lari.” Kalau dipikir lagi, mungkin yang kita butuhkan bukan lebih banyak agenda, tapi lebih banyak momen kosong yang bermakna.
Bagaimana Mempraktikkan Menepi Tanpa Kabur
Saran praktis? Mulai dari hal paling receh: matiin notifikasi beberapa jam, jalan kaki tanpa tujuan, atau tulis tiga hal yang bikin bersyukur sebelum tidur. Bukan gaya hidup hipster, tapi cara nyata mengatur ulang ritme. Kalau mau, gabungkan sedikit filsafat: tanya pada diri sendiri, apa yang paling saya hargai hari ini? Jawabannya bisa sederhana, dan itu baik-baik saja.
Penting juga mengizinkan diri untuk ragu. Banyak tradisi agama dan aliran filsafat justru mengajarkan kerendahan hati intelektual: mengakui kita nggak tahu segalanya. Di era di mana segala jawaban tersedia di ujung jari, kemampuan menerima ketidakpastian jadi terasa subversif—dan menyembuhkan.
Di akhir hari, menepi sejenak bukan soal mundur. Ini soal memberi ruang agar hidup kita tetap punya napas. Dalam kekacauan notifikasi, deadline, dan ekspektasi, ada baiknya sesekali berhenti, taruh ponsel, dan dengar ritme tubuh sendiri. Sekali lagi, bukan lari dari tanggung jawab, tapi memilih cara menjalani hari yang lebih manusiawi.
Kalau lo nanya ke gue, keseimbangan antara agama, filsafat, dan kehidupan modern itu bisa sederhana: ambil yang baik, tanya yang perlu, dan tetap berbuat baik. Kadang jawabannya lebih dekat dari yang kita kira—di secangkir teh, di ucapan sederhana, atau di langkah kecil membantu orang yang kesulitan lewat banjir. Menepi sejenak bukan akhir cerita, melainkan napas baru untuk melanjutkan perjalanan.