Aku suka ngopi sore. Bukan karena kafe itu punya lampu yang bagus atau playlist yang pas, tapi karena di meja kecil itu aku sering bertemu pertanyaan-pertanyaan yang nggak pernah cukup dijawab oleh timeline atau notifikasi: siapa aku, untuk apa hidup ini, dan bagaimana caranya merasa cukup di tengah segala tuntutan? Sore dengan kopi panas, piring kerupuk, dan ponsel yang terus berdengung—kontras yang aneh, tapi real.
Ngopi dan Pertanyaan-pertanyaan Kecil
Pernah nggak kamu nanya, kenapa ketika semua orang kelihatan ‘bahagia’ di sosial media, kita tetap merasa kosong? Itu bukan hanya soal FOMO atau ingin pamer. Ada ruang-ruang dalam diri yang butuh lebih daripada likes. Ruang itu sering kali berbisik lewat pertanyaan kecil: apakah hidupku bermakna? apakah aku hidup sesuai dengan nilai yang aku pegang?
Saat aku ngobrol santai dengan teman, topik itu sering muncul tiba-tiba—bukan seperti kuliah filsafat yang serius, tapi dalam bentuk cerita tentang pekerjaan yang membuat stres, tentang cinta yang berbelok, tentang kebiasaan yang terasa sia-sia. Itulah momen ketika agama dan filsafat sering bergabung tanpa sadar. Satu memberi ritual, satu memberi peta berpikir.
Agama vs Filsafat: Saingan atau Teman?
Banyak orang menganggap agama dan filsafat sebagai dua hal yang bertentangan. Agama punya jawaban yang mapan, ritual, dan komunitas. Filsafat, di sisi lain, menuntut keraguan dan diskusi terus-menerus. Tapi menurutku, mereka bisa jadi duet yang manis. Agama menawarkan cerita dan praktik yang mengisi ritual keseharian. Filsafat memintamu mempertanyakan cerita itu agar nggak jadi dogma buta.
Ada momen ketika aku membaca kutipan filosofis sambil memegang cangkir kopi dan lalu menyadari ada doa yang sama-sama menenangkan. Agama memberikan arah moral; filsafat mengasah cara kita berpikir tentang arah itu. Tentu saja, kadang keduanya bertengkar di kepala—namun bukan berarti harus memilih salah satu. Kita boleh ambil yang terbaik dari keduanya.
Smartphone, Notifikasi, dan Pencarian Makna
Smartphone mengubah cara kita mencari makna. Dahulu orang mungkin duduk berlama-lama merenung, membaca kitab, atau berdiskusi di kafe. Sekarang, jawaban instan tersedia dengan tiga ketukan jari. Itu memudahkan, tetapi juga membuat kita cepat puas dengan pemahaman dangkal. Satu artikel viral bisa menggantikan berbulan-bulan pembelajaran mendalam.
Nikmatnya, smartphone juga bisa jadi jendela untuk menemukan beragam pandangan spiritual dan filsafat yang sebelumnya sulit diakses. Aku pernah menemukan ceramah, esai, dan diskusi yang membuka perspektif baru—semua dalam satu layar kecil. Tapi ancamannya jelas: kita harus memilih kualitas dibanding kuantitas. Lebih baik satu tulisan yang benar-benar menggugah daripada seratus kutipan tanpa konteks.
Kalau kamu pernah buka laman seperti devilandgod di tengah malam untuk membaca refleksi spiritual, berarti kamu paham. Internet bisa jadi gudang harta—asal kita pinter memilah.
Saran Spiritual Ringan untuk Sore yang Tenang
Berikut beberapa hal sederhana yang kugunakan saat rasa ‘kosong’ datang, yang bisa kamu coba juga:
– Matikan notifikasi sejenak. Biar otak nggak terus-menerus teralihkan.
– Baca satu paragraf yang menantang, bukan sekadar menyenangkan. Filsafat atau ayat suci, terserah pilihannya.
– Lakukan ritual kecil: minum teh dengan sadar, hitung napas, atau tulis tiga hal yang kamu syukuri hari itu.
– Berbicaralah dengan teman yang bisa mendengarkan tanpa cepat menghakimi. Kadang suara manusia lebih menenangkan daripada feed kosong.
Ritual-ritual kecil ini nggak menjanjikan pencerahan instan. Tapi mereka memberi ruang—ruang untuk mengolah pikiran, menata kembali prioritas, dan kadang menemukan jawaban yang tidak akan ditemukan lewat scroll tanpa henti.
Di akhir sore, ketika cangkir sudah hampir kosong dan langit di luar mulai gelap, aku sadar satu hal sederhana: makna hidup bukan solusi matematika yang bisa diselesaikan sekali dan untuk selamanya. Makna itu terlihat ketika kita menyusunnya setiap hari, lewat pilihan kecil, lewat ritual yang konsisten, lewat dialog jujur dengan diri sendiri dan yang lain.
Jadi, kalau kamu sedang ngopi sekarang, coba tunda sejenak jari yang ingin membuka notifikasi. Dengarkan suara di dalam. Mungkin, di antara hiruk-pikuk zaman smartphone ini, ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan—dengan santai, secangkir demi secangkir.