Iman, Filosofi, dan Notifikasi: Menemukan Hening di Hidup Modern
Antara Doa dan Jadwal Google Calendar (informative)
Kita hidup di zaman di mana iman seringkali harus berbagi ruang dengan notifikasi. Alarm pengingat rapat, pesan masuk dari grup keluarga, dan update aplikasi cuaca — semuanya bersaing untuk mendapatkan perhatian kita. Tapi iman bukan kalender. Iman adalah pengalaman yang menuntut ketenangan. Filsafat mengajarkan kita untuk bertanya: apa yang membuat hidup bermakna? Modernitas memberi jawaban cepat. Filsafat memberi metode bertanya yang tenang.
Cerita kecil: ketika saya menekan tombol ‘snooze’ pada doa (santai/gaul)
Pernah suatu malam saya menunda waktu tenang saya. Bukan karena malas, tapi karena ponsel saya terus bergetar. “Nanti aja,” pikir saya. Nanti berubah menjadi kebiasaan. Esoknya saya merasa hampa. Ada yang aneh: rasa rindu pada sesuatu yang tidak bisa saya beri label. Itu bukan hanya rindu pada ritual. Aku rindu hening. Di tengah kegaduhan, hening itu seperti udara segar. Setelah hari itu saya mulai menaruh ponsel di kamar lain saat hendak berdiam — dan percayalah, itu sederhana tapi revolusioner.
Filosofi untuk yang sibuk: prinsip Praktis
Filsafat klasik tidak perlu baca berlembar-lembar untuk dipraktekkan. Stoik menyarankan latih ketenangan batin. Buddhis menekankan perhatian (mindfulness). Dalam praktek modern, kita bisa ambil inti dari keduanya: atur waktu tanpa gangguan, evaluasi kembali prioritas, dan biarkan sedikit ruang kosong di agenda. Ruang kosong ini penting. Banyak orang takut kosong karena menganggapnya tidak produktif. Padahal, ruang kosong memberi kesempatan untuk mendengar suara batin — tempat iman berbisik.
Notifikasi bukan musuh — asalkan kita yang atur (santai tapi tegas)
Tidak perlu menjadi tegas anti-teknologi. Notifikasi punya fungsi. Mereka membantu kita tetap terhubung. Tapi kalau kita tidak atur aturan, kita yang jadi budaknya. Salah satu trik saya sederhana: mode “Do Not Disturb” pada jam-jam tertentu dan hanya menyalakan notifikasi dari orang yang benar-benar penting. Begitu juga, sisihkan waktu untuk refleksi. Mungkin 10 menit di pagi hari, atau sebelum tidur. Jangan kaget kalau awalnya terasa garing. Lama-lama, itu jadi kebutuhan.
Iman sebagai pengalaman, bukan checklist
Dalam perbincangan spiritual sering muncul debat: berapa banyak ritual cukup? Aku mulai melihat iman bukan sebagai daftar tugas yang harus dicentang, tetapi sebagai kualitas hidup. Ada saatnya doa panjang dan menyentuh. Ada saatnya cukup hening selama dua menit sebelum memulai kerja. Filsafat membantu menempatkan ritual-ritual itu dalam konteks — “kenapa” di balik tindakan. Ketika kita memahami alasan, praktik jadi lebih bermakna. Dan ketika praktik bermakna, notifikasi tidak lagi mengganggu, melainkan muncul pada tempatnya.
Praktik kecil yang bisa dicoba minggu ini (praktis)
Coba ini: matikan notifikasi selama satu jam setiap hari selama seminggu. Gunakan waktu itu untuk membaca, menulis, atau hanya duduk diam. Catat apa yang kamu rasakan. Jangan lupa, ada banyak sumber yang membahas persimpangan antara spiritualitas dan modernitas — saya sering terinspirasi oleh tulisan-tulisan online seperti di devilandgod yang mengajak berpikir tanpa menghakimi. Kuncinya: konsistensi kecil lebih ampuh daripada usaha besar yang sekali-sekali.
Penutup: Hening itu sederhana, tapi susah dijaga
Kebisingan zaman modern menantang kita untuk menciptakan ruang suci sendiri. Iman dan filsafat memberi alat: iman memberi tujuan, filsafat memberi cara berpikir. Notifikasi hanya sinyal. Kita yang memutuskan apakah sinyal itu menjadi instruksi atau sekadar informasi. Mari belajar menekan tombol hening — bukan untuk lari dari dunia, tapi untuk bisa hadir sepenuhnya ketika kita kembali lagi.