Mencari Hening di Tengah Feed: Renungan Agama dan Filsafat Ringan

Di zaman ketika pagi dimulai dengan notifikasi dan malam diakhiri oleh video panjang yang terus diputar, hening terasa seperti barang langka. Kita masih punya ritual — sholat, doa, meditasi, baca kitab, atau sekadar duduk diam sambil menyeruput kopi — tapi ritme hidup kadang menenggelamkan makna ritual itu sendiri. Artikel ini bukan ceramah. Ini lebih seperti bisik-bisik di antara postingan, semacam undangan untuk mempertanyakan: apa fungsi agama dan filsafat dalam kehidupan modern yang dikurasi oleh algoritma?

Dewasa dan Scroll: Kenapa Kita Perlu Hening

Secara sederhana, hening memberi ruang bagi refleksi. Agama sering memberi pola: waktu untuk berhenti, mengingat, dan berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri. Filsafat memberi alat berpikir: bahasa untuk mengurai perasaan dan keyakinan. Gabungan keduanya tidak harus sakral dalam arti tua dan kaku. Mereka bisa jadi pedoman agar kita tak selalu bereaksi — namun menanggapi dengan sadarnya.

Saya pernah mengalami hari ketika semua terasa konsumtif. Scroll tanpa tujuan, like tanpa rasa, dan semangat hanya untuk mencari validasi. Lalu saya menghentikan ponsel, berjalan ke taman, dan duduk di bangku yang sama yang sering saya lewati. Hanya lima belas menit, tapi rasanya seperti napas panjang yang menenggelamkan panik kecil. Di sana, saya sadar bahwa hening bukan pelarian. Hening adalah latihan sederhana untuk memeriksa apa yang sebenarnya penting.

Ngopi Dulu, Bro: Spiritualitas Itu Gak Harus Kaku

Kalau mau santai, mari bicara jujur: banyak orang takut kata “agama” karena terasosiasi dengan dogma. Banyak orang juga takut kata “filsafat” karena terdengar berat dan memusingkan. Padahal, pada intinya kedua hal itu berkaitan dengan bagaimana kita menjalani hidup yang bermakna. Spiritualitas modern seringkali lebih longgar — seseorang bisa baca Stoik, praktek meditasi, tetap menghadiri kajian, atau mengikuti komunitas online yang saling menguatkan. Semua legit.

Saya suka membaca esai-esai yang mendorong berpikir kritis tentang Tuhan, moral, dan eksistensi — kadang di blog, kadang di forum. Kadang pula saya klik tautan asal penasaran, misalnya membuka tulisan di devilandgod untuk melihat sudut pandang yang menantang. Tujuannya bukan untuk menukar iman, tapi memperkaya cara kita bertanya dan merespons hidup.

Ritual Kecil, Makna Besar

Dalam praktik, hening bisa sangat sederhana: menutup mata selama tiga napas, menuliskan tiga hal yang disyukuri, mematikan notifikasi selama satu jam, atau membaca satu ayat sebelum mulai bekerja. Ritual kecil seperti ini bisa menjadi jangkar di tengah arus cepat. Mereka mengingatkan bahwa hidup lebih dari produktivitas; ada nilai, ada hubungan, ada tugas moral terhadap sesama.

Filsafat membantu kita menamai pengalaman itu: apa itu kebajikan? Apa itu kebahagiaan? Agama sering memberi cerita dan komunitas. Ketika kita kombinasi — menaruh refleksi filosofis ke dalam praktik yang berulang — lahirlah kebiasaan yang memiliki kedalaman, bukan sekadar kebiasaan performatif untuk pamer di feed.

Penutup: Pilih Heningmu Sendiri

Tidak ada resep tunggal. Yang cocok buat saya mungkin tidak cocok buatmu. Ada yang butuh meditasi pagi, ada yang butuh menyanyikan lagu kebaktian dengan komunitas, ada pula yang butuh duduk dalam sunyi satu jam tiap minggu. Intinya adalah memilih, bukan hanya menerima arus. Memilih berarti aktif—memutuskan apa yang layak mendapat perhatian kita di antara ribuan suara lain.

Kalau kamu ingin mulai sederhana: pilih satu ritual kecil minggu ini. Matikan notifikasi satu jam sehari. Bacakan doa atau baca satu paragraf filsafat. Catat apa yang berubah. Kadang, hal-hal paling kecil membuka ruang besar di dalam kita. Di akhir hari, ketika layar mati dan kota berbisik, mungkin kita akan menemukan bahwa hening bukan lagi barang langka — melainkan rumah kecil yang selalu bisa kita kunjungi.

Leave a Reply