Mencari Makna di Tengah Smartphone: Filsafat Ringan untuk Jiwa

Aku pernah duduk di sebuah kafe, menunggu teman yang terlambat, sambil men-scroll feed tanpa henti. Di antara foto makanan yang dibumbui filter dan status orang yang seolah-olah hidupnya selalu perfect, ada momen aneh: rasa hampa kecil yang muncul tiba-tiba. Bukan karena aku lapar lagi, tapi karena terasa ada sesuatu yang hilang. Kayak baterai yang menunjukkan 10% tapi charger-nya entah ke mana. Itulah mulaiannya, catatan kecil ini tentang agama, filsafat, dan bagaimana smartphone ngaruh ke pencarian makna.

Notifikasi Hati (bukan notifikasi WhatsApp)

Kita terbiasa merespons bunyi notifikasi dengan cepat: “Oh, ada pesan!” Tapi, kapan terakhir kali kita merespons bunyi kecil dari dalam diri? Agama dan filsafat sering bilang, dengarkanlah. Dulu, dengar berarti diam, menyepi, meditasi, atau doa. Sekarang, dengar sering berarti menunggu ringtone. Lucu, kan? Ada kalanya aku mikir, kalau Tuhan ngirim pesan, apakah aku akan membacanya atau malah nge-swipe ke kiri karena lagi kepoin Instagram?

Di sinilah letak ironi: teknologi yang seharusnya mendekatkan, kadang bikin kita jauh. Bukan jauh dari orang, tapi jauh dari diri sendiri. Kita punya akses ke banyak ajaran, kutipan bijak, video khutbah. Tapi akses bukan berarti kedalaman. Mendengar khutbah sambil menunggu elevator itu beda kualitasnya dengan duduk lalu merenung sampai mata berkaca-kaca.

Ngobrol sama Tuhan lewat layar? (kok bisa)

Terkadang aku bercanda: “Bro, kalau Tuhan punya akun sosmed, apa Dia follow-back?” Tapi candaan itu juga menyelipkan ide serius. Banyak orang sekarang praktik spiritual lewat layar—mendengarkan ceramah di podcast sambil jogging, membaca ayat lewat aplikasi, atau ikut komunitas spiritual di grup chat. Ini bagus, karena aksesnya mudah. Tapi kita mesti jujur soal intensitasnya. Apakah itu ibadah yang mendalam atau sekadar konsumsi rohani ala fast-food?

Tak apa kalau kadang pakai fast-food rohani—ketika hidup sibuk dan kita butuh suntikan cepat. Tapi jangan biarkan itu menggantikan makan malam batin yang panjang: dialog dengan Tuhan, merenung tentang dosa, syukur sungguh-sungguh. Kalau kita cuma ngumpulin likes atas foto “sedekah”, hati bisa tetap kosong. Inti spiritualitas bukan performa, melainkan transformasi.

Sekilas filsafat: jadi manusia, jangan autopilot

Filsafat klasik ngajarin kita bertanya: “Apa arti hidup?” Sekarang versi modernnya mungkin: “Apa arti hidup kalau kita habiskan nyaris 8 jam di depan layar?” Stoik bilang kontrol diri; eksistensialis bilang tanggung jawab buat memberi makna. Aku suka gabungin dua-duanya: kendalikan kebiasaan scrolling, dan bertanggung jawab untuk membuat makna sendiri. Kadang cukup dengan memilih: matiin notifikasi jam tertentu atau sengaja ambil hari tanpa medsos.

Praktiknya sederhana (dan kadang menyiksa): sleeping-mode notifikasi, hapus aplikasi yang bikin komparasi, atau atur waktu doa/meditasi yang serius. Jangan salah, bukan soal jadi suci-polisi. Ini soal memberi ruang buat suara batin yang sering kalah sama bunyi pings.

Kalau kamu penasaran gimana caraku mulai, ada satu blog yang kadang aku kunjungi waktu butuh bacaan antara agama dan kultur pop: devilandgod. Bacanya nggak berat tapi bikin mikir, kayak ngobrol sama teman lama yang santai tapi bijak.

Humor dan harapan: jangan lupa ketawa

Di tengah semua kontemplasi ini, penting banget buat nggak terlalu serius mulu. Agama dan filsafat juga ngajarin kebijaksanaan yang diselingi keceriaan. Ketawa itu sehat—bahkan seringkali lebih rohani daripada foto #blessed yang klise. Aku percaya, tawa bisa jadi doa tanpa kata: suatu pengakuan bahwa hidup ini aneh tapi indah.

Akhirnya, pencarian makna di zaman smartphone bukan soal menolak teknologi. Ini soal memilih bagaimana kita pakai teknologi itu—sebagai alat untuk memperkaya batin, bukan menutupi kekosongan. Sedikit disiplin, sedikit refleksi, dan banyak keberanian buat mengatakan “cukup” saat layar mulai menghisap hidupmu. Kalau suatu hari kamu lihat aku duduk di kafe tanpa lihat layar, datanglah dan ajak ngobrol. Siapa tahu kita bisa menemukan makna bareng—atau setidaknya cemilan gratis, haha.

Leave a Reply