Ngopi Malam dengan Tuhan: Refleksi Filsafat Hidup Modern
Di balkon kecil apartemenku, dengan secangkir kopi yang hangat dan lampu kota yang berkedip seperti bintang-bintang yang kelelahan, aku sering berbicara pada Tuhan. Bukan dalam arti formal seperti doa di masjid, gereja, atau kuil — lebih seperti percakapan yang muncul ketika keriuhan hari sudah padam dan hanya tersisa detak jantung sendiri. Suara notifikasi tak lagi menggangu. Hanya ada aku, cangkir, dan pertanyaan-pertanyaan yang mengendap sepanjang hari.
Mengapa harus malam?
Malam bagi banyak orang adalah waktu evaluasi. Di siang hari kita sibuk berperang dengan tenggat, ekspektasi, dan siluet wajah banyak orang yang membutuhkan sesuatu darimu. Malam adalah ruang kosong yang memberi izin untuk mendengar. Aku selalu merasa lebih jujur saat malam. Kata-kata yang sulit diucapkan saat senja justru muncul dengan lembut saat gelap. Mereka bukanlah penghakiman. Mereka lebih seperti percikan kesadaran: apa yang sebenarnya kutuju? Untuk siapa aku bekerja? Apa yang membuatku merasa hidup?
Filsafat mengajarkan kita cara bertanya, agama sering memberi kita jawaban yang menenangkan hati. Tapi di tengah arus modernitas, pertanyaan-pertanyaan itu kadang terseret oleh pameran identitas di media sosial, oleh ritme kerja yang menjadikan manusia setengah mesin. Jika siang hari membentuk versi kita yang dipoles untuk tampil, malam memberi kita kesempatan membuka topeng, meski hanya sebentar.
Agama dan filsafat: dua sahabat di meja kopi
Aku tumbuh di sebuah keluarga yang religius, tapi aku juga menyukai buku-buku filsafat. Keduanya pernah bertikai di kepalaku. Agama menawarkan narasi yang menenangkan; filsafat menuntut pembuktian dan keraguan. Namun, semakin sering aku duduk ngopi malam sendirian, semakin jelas bahwa keduanya tidak mesti berlawanan. Agama bisa menjadi praktik yang mengakar, ritual yang mengembalikan manusia pada sumber makna. Filsafat, di sisi lain, adalah alat yang membantu kita menelaah keyakinan itu agar tidak sekadar warisan kebiasaan.
Di percakapan malamku, aku memberi ruang untuk doa yang sederhana: terima kasih, maaf, tolong. Lalu aku menambahkan pertanyaan-pertanyaan filosofis: kenapa aku merasa cemas ketika rezeki mampir? Kenapa pujian terasa seperti obat, dan kritik seperti racun? Menggabungkan keduanya bukanlah upaya menyatukan doktrin; ia lebih seperti menyatukan hati yang mencari pemahaman dan kepala yang ingin logika. Keduanya saling mengisi.
Apa yang hilang dalam hidup modern?
Teknologi memberi kemudahan, tapi juga menciptakan kekosongan yang baru. Kita bisa terkoneksi dengan siapa saja, kapan saja, namun sering merasa sangat sendirian. Konsumerisme memberi ilusi kepuasan instan. Kita membeli untuk merasa utuh, padahal utuh tidak bisa dibeli. Dalam kontemplasiku, aku menemukan bahwa spiritualitas bukanlah daftar aturan atau alat untuk menyingkirkan problem hidup. Ia lebih seperti latihan kehadiran: belajar berada dengan diri, menerima ketidaktahuan, dan merespons dengan kasih sayang.
Saat aku membuka smartphone, sering menemukan slogan kebahagiaan instan. Tapi ketika aku menutup layar dan menatap gelap, suara kecil di dalam yang menanyakan makna hidup mulai terdengar. Kadang jawabannya sederhana: lakukan hal kecil yang bermakna, rawat relasi, jangan lari dari tanggung jawab pada diri sendiri. Ini bukan renungan baru. Hanya saja, di tengah hidup yang dipercepat, kita lupa untuk mengulanginya.
Opini: spiritualitas sebagai praktik keseharian
Aku percaya spiritualitas sejati muncul dalam tindakan sehari-hari. Bukan hanya dalam meditasi berdurasi satu jam atau kunjungan ke tempat ibadah pada hari raya. Ia muncul saat kau mengangkat telepon untuk menanyakan kabar orang tua, saat kau menolak komentar kasar demi menjaga martabat, atau saat kau memilih jujur walau itu membuatmu dirugikan. Praktik-praktik kecil ini adalah doa yang tak perlu kata-kata indah.
Beberapa waktu lalu aku membaca esai yang membuka cara pandangku; ia menulis tentang godaan modernitas dan cara-cara sederhana menemukan kembali kesakralan dalam rutinitas. Link seperti devilandgod memberi contoh tulisan yang merawat dialog antara kepercayaan dan keraguan. Bukan untuk menuntut orang lain setuju, tapi untuk mengingatkan bahwa pencarian ini bisa dijalani dengan lembut.
Akhirnya, ngopi malam bukan ritual sakral. Ia lebih seperti latihan ulang napas. Sekali-sekali aku hanya duduk, menatap cangkir, dan membiarkan pikiran lewat. Ada hari ketika jawabannya jelas. Ada hari lain yang hanya ada diam. Keduanya aku sambut. Karena dalam diam, kadang kita menemukan suara Tuhan yang bukan hanya perintah, melainkan undangan untuk hidup lebih penuh.
Jika kau pernah merasa tersesat oleh hiruk-pikuk, cobalah duduk sebentar. Seduh kopi atau teh. Biarkan malam menanyakan apa yang penting. Jangan buru-buru mencari jawaban. Kadang, kehadiran saja sudah cukup. Dan jika kau mau, datanglah ke meja itu—di rumahmu sendiri—dan ajak Tuhan bicara. Siapa tahu, percakapan paling jujur akan terjadi ketika dunia sudah tertidur.