Ada Ruang untuk Doa di Tengah Notifikasi Tak Pernah Berhenti

Ada Ruang untuk Doa di Tengah Notifikasi Tak Pernah Berhenti

Pagi-pagi bangun, notifikasi WhatsApp, email kerja, update berita, sampai notifikasi game. Rasanya hampir setiap detik ada bunyi yang minta perhatian. Kadang gue sempet mikir, di antara semuanya itu, masih ada ruang untuk doa—untuk hening, untuk nanya pada yang lebih besar dari daftar tugas kita? Jujur aja, itu pertanyaan yang sering mampir pas lagi buru-buru ngecek jadwal dan nyalain kopi.

Mengapa Doa Terasa Sulit di Zaman Notifikasi

Kita hidup di era di mana perhatian adalah komoditas. Filsafat perhatian bilang, konsentrasi kita terus dibajak oleh hal-hal yang ingin kita, atau malah tidak kita, perhatikan. Doa tradisional seringkali butuh jeda: diam, fokus, refleksi. Padahal jeda itu sendiri sekarang jadi barang langka. Ada pergeseran dari ruang batin yang sunyi ke ruang publik yang terus berbunyi. Kalau disederhanakan, doa bukan cuma soal kata-kata; doa adalah tentang memberi waktu dan keseriusan kepada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri—dan itu susah kalau setiap lima menit ponsel bergetar.

Opini: Doa Bukan Barang Antik, Dia Bisa Beradaptasi

Gue percaya doa nggak harus kaku. Agama dan filsafat hidup karena mereka bisa menyesuaikan diri. Doa bisa berupa kata, tapi juga napas, gerakan, atau niat. Waktu gue lagi lembur semalam-malam, gue nggak punya waktu untuk ritual panjang. Tapi gue duduk sebentar, tarik napas panjang, dan bilang, “Tolong beri aku kekuatan,” dengan sepenuh hati. Itu doa. Kadang yang penting bukan formalitasnya, tapi kualitas perhatian yang kita berikan pada momen itu.

Ada juga dimensi sosial dari doa yang sering lupa: doa sebagai pengakuan kalau kita butuh orang lain, dan juga butuh sesuatu di luar diri. Di tengah hiruk-pikuk notifikasi, doa jadi cara untuk merebut kembali rasa keterkaitan itu — bukan hanya dengan Tuhan, tapi juga dengan nilai-nilai yang penting bagi kita.

Saran Praktis—Santai dan Bisa Dicoba Sekarang

Berikut beberapa trik kecil yang gue praktekkan dan lumayan membantu: pertama, buat “zona doa” singkat. Bisa di kamar mandi, di meja kerja, atau di perjalanan tiga halte dari rumah. Kedua, batasi notifikasi selama 10–15 menit tiap beberapa jam; pakai fitur fokus di ponsel. Ketiga, coba doa mikro: satu napas panjang fokus pada satu kata (misalnya “syukur” atau “damai”). Keempat, ritualisasi awal hari: sebelum buka aplikasi apa pun, tutup mata 60 detik dan ucapkan niat untuk hari itu. Gak perlu lama, tapi konsisten.

Kalau mau referensi pengalaman lain, gue pernah nemu artikel dan percakapan menarik soal agama, teknologi, dan refleksi spiritual di devilandgod. Bukan endorsement formal, tapi kadang baca cerita orang lain bikin kita sadar ada banyak cara untuk tetap hidup beriman di dunia yang berisik.

Doa vs Notifikasi: Humor Ringan, Solusi Nyata

Kalau dibayangkan lucu juga: doa pasang headphone, sementara notifikasi pake pengeras suara. Tapi lelucon ini juga ngasih pelajaran. Kadang kita harus lebih tegas memutus suara luar agar suara batin terdengar. Bukan berarti memutus total—justru lebih ke memilih kapan kita memberi ruang untuk gangguan dan kapan kita menutup pintu untuk kedamaian.

Di sisi lain, ada hal filosofis sederhana: notifikasi menuntut respons, doa mengizinkan kita untuk hadir tanpa harus selalu membalas. Itu pelajaran besar. Kehidupan modern mengajarkan respons cepat; spiritualitas mengajarkan kedewasaan batin untuk tak bereaksi secara impulsif.

Akhirnya, buat gue pribadi, doa di era notifikasi adalah latihan untuk menjadi manusia yang penuh perhatian. Bukan utopis. Bukan juga sekadar nostalgia terhadap “masa lalu yang sunyi.” Ini soal membuat pilihan sadar: kapan kita mau berada dalam kebisingan, dan kapan kita butuh ruang untuk mendengar suara yang beda—entah itu suara agama, suara nurani, atau suara jiwa sendiri.

Jadi, ada ruang untuk doa. Mungkin kecil, sering terpotong, dan kadang harus dibela dari notifikasi yang tak mau diam. Tapi selama kita mau menciptakan kebiasaan kecil—satu napas, satu niat, satu menit diam—ruang itu akan ada. Dan kalau lu pernah lupa caranya, ingat: doa sering dimulai dari niat sederhana: “Tolong, bantu aku untuk tetap hadir hari ini.” Itu saja sudah cukup untuk memulai.

Leave a Reply