Pernah nggak, lagi khusyuk di masjid atau sedang merenung di sore hari, tiba-tiba ada getar kecil di saku. Sekali lihat: notifikasi. Sekilas, pesan biasa—promo, repost, atau pesan grup keluarga. Tapi entah kenapa, di momen-momen seperti itu, terasa seperti iman saya tercecer di antara badge merah dan ikon aplikasi. Saya ingin cerita, karena rasanya bukan cuma saya yang kadang kehilangan ritme spiritualnya gara-gara bunyi ponsel.
Notifikasi: pemecah ritme atau cermin realitas?
Ada dua cara melihatnya. Cara pertama: notifikasi emang ganggu. Dia memecah konsentrasi, membuat pikiran melompat ke hal-hal remeh, sampai-sampai zikir tercecer. Cara kedua: notifikasi itu cermin—menunjukkan betapa hidup kita kini bertumpu pada koneksi. Kita butuh info, pengakuan sosial, bahkan validasi. Kadang notifikasi memberi kita berita baik; kadang malah berita yang bikin cemas. Saya sendiri sering terjebak, mengecek layar dua detik yang berubah jadi 20 menit scroll tanpa henti. Kapan terakhir kali kita menutup layar karena memilih diam dan meresapi napas?
Suatu pagi yang mengubah cara saya lihat notifikasi
Beberapa bulan lalu, pagi-pagi saya bangun, terus seperti biasa mengecek ponsel. Di layar: suara ibu di WhatsApp—pesan suara panjang, agak sesenggukan. Saya tadinya mau menunda, tapi entah kenapa saya tekan play. Ternyata ibu cerita tentang tetangga yang sakit dan rasa bersalah karena belum sempat berkunjung. Nada suaranya membuat saya terdiam. Di sela pesan itu, ada juga notifikasi berita dan promo kopi. Kontrasnya nyerang. Saya lalu ingat sebuah tulisan yang saya baca di devilandgod—tentang bagaimana modernitas menuntut kita hadir di banyak tempat sekaligus, sampai kehilangan kemampuan hadir penuh di satu tempat. Sejak saat itu, saya mulai perlahan membiasakan ‘detox notifikasi’ setiap kali butuh fokus spiritual: doa pagi, membaca, atau sekadar mendengarkan ibu lewat telepon dengan sabar.
Santai dulu: bukan soal ponsel, tapi tentang prioritas
Nah, ini gaya santai: kita sering menyalahkan ponsel seolah dia musuh. Padahal ponsel cuma alat. Kalau iman kita sering ‘terselip’ di notifikasi, mungkin masalahnya bukan notifikasi-nya, tapi prioritas kita. Apa yang kita letakkan paling depan dalam hari-hari kita? Jadwal ibadah, waktu keluarga, atau timeline? Saya berpendapat sederhana: iman itu bukan tombol yang bisa dimatikan saat alarm Instagram berbunyi. Iman adalah kebiasaan yang dibentuk. Jadi, kalau kebiasaan kita adalah buka ponsel dulu sebelum membaca doa, ya wajar iman terasa ‘terselip’.
Saya mulai berlakukan ritual kecil: 10 menit setelah bangun, ponsel saya di mode senyap, saya duduk, baca beberapa ayat. Nggak grand, tapi konsisten. Efeknya? Pelan-pelan, notifikasi nggak lagi memegang kendali penuh atas mood atau fokus saya.
Refleksi: Teknologi bukan penghalang mutlak
Di sisi lain, teknologi juga bisa membantu memperkuat iman. Ada podcast yang menenangkan, pengingat doa, komunitas online yang memberi dukungan. Kuncinya adalah bijak. Saya nggak anti teknologi. Bahkan sering menemukan inspirasi dari akun yang membahas spiritualitas dengan cara modern. Intinya, pilih yang mengangkat, bukan yang membuat kita semakin kosong. Kalau kita bisa pilih konten yang mengingatkan kita pada nilai-nilai, notifikasi pun bisa berubah fungsi: dari pemecah menjadi penunjuk jalan.
Saya juga percaya bahwa iman itu hidup—dia tumbuh dalam situasi nyata, bukan hanya dalam momen ideal di masjid. Kalau kita sibuk, letakkan iman di notifikasi bukan berarti hari itu rugi total. Bisa jadi, notifikasi itu pengingat untuk menyapa orang tua, untuk bersyukur karena ada teman yang menelpon, atau untuk tersadar bahwa kita perlu jeda. Jadi perlakukan notifikasi seperti tamu: sambut yang sopan, dan jangan biarkan dia tidur di tempat yang seharusnya hanya untuk keluarga kita sendiri.
Terakhir, saya cuma ingin bilang: santai saja. Jangan konyol menghukum diri karena sekali dua kali terpeleset membuka layar saat sedang berdoa. Yang penting adalah sadar, menata ulang, lalu kembali. Kita manusia. Kita butuh pengingat—baik dari dalam hati maupun dari bunyi kecil di saku. Yang penting, kita tetap berusaha menempatkan iman di tempat yang paling nyata: dalam tindakan sehari-hari.