Beberapa hari lalu gue lagi scroll Instagram sambil nunggu nasi kotak dingin, terus nyantol sama satu postingan: foto langit sunrise, kutipan ayat, dan caption panjang tentang “memaknai hidup”. Jujur aja, rasanya adem. Tapi setelah beberapa swipe, ada foto lain—kopi, kutipan motivasi, senyum palsu. Gue sempet mikir, kenapa spiritualitas kita sering kebawa estetika grid 9 kotak itu?
Agama di Era Filter dan Like (santai tapi penting)
Agama selalu tentang ritus, cerita, dan komunitas. Sekarang ritus itu ikut pindah ke layar. Kita berdoa di pagi hari, lalu selfie dengan hashtag #blessed. Ada kebaikan di situ—mungkin itu bikin orang ingat untuk bersyukur. Tapi ada juga sisi yang bikin risih: ketika ibadah berubah jadi konten yang harus divalidasi lewat likes. Gue pernah ngobrol sama teman yang bilang, “Kadang aku ngerasa lebih khusyuk pas nggak pegang HP.” Itu bikin gue sadar, esensi bisa hilang kalau terus-menerus dikurasi.
Opini: Konten Rohani Bukan Kompetisi
Aku percaya banyak orang bermaksud baik. Banyak akun rohani yang niatnya menebar kebaikan, dan itu perlu diapresiasi. Tapi masalahnya muncul ketika konten rohani diukur dari engagement. Kita jadi sibuk mikirin caption yang “memukul” atau estetik yang viral, bukan lagi pesan yang simpel dan sebetulnya mengubah hati. Jujur aja, kadang gue klik unfollow bukan karena nggak setuju isi, tapi karena capek lihat agama yang dipaksa akting.
Sejenak Cerita: Ketemu Bapak di Warung
Waktu itu gue ngantri di warung, ada bapak-bapak yang tiap hari baca doa sebentar sebelum ngendus kopi. Nggak ada kamera, nggak ada caption. Dia makan sambil senyum biasa. Itu sederhana, nggak Instagrammable, tapi terasa dalam. Momen kecil seperti ini nyadarinnya: makna hidup nggak selalu perlu dibesar-besarkan. Kadang cukup ditemui di detik sunyi, di sapaan yang tulus, atau di tangan yang menolong tanpa difoto.
Agama, Filosofi, dan Si Kecil yang Ngelahap Dunia Digital (sedikit kocak)
Kita hidup di zaman di mana anak kecil bisa buka aplikasi lebih jago daripada ayahnya. Ironisnya, materi tentang moral dan etika seringnya lebih sederhana dari algoritma yang kompleks. Filosofi kuno bicara tentang kebijaksanaan hidup yang muncul dari refleksi dan pengendalian diri—dua hal yang nggak gampang diajarin lewat reels 15 detik. Gue sempet mikir, jangan-jangan kita butuh “mode pesawat” hidup sesekali agar firmware jiwa bisa update.
Ada satu lagi yang kadang terlupakan: komunitas offline. Agama dan filsafat tumbuh subur ketika ada ruang untuk bertanya tanpa takut judged. Di real life, pertanyaan-pertanyaan bodoh kadang malah ngarah ke pelajaran paling berharga. Di kolom komentar? Sering berakhir debat berkepanjangan atau kapok bertanya karena takut di-shame.
Sekarang mungkin kamu bertanya, apa solusi praktisnya? Enggak ada resep sakti. Tapi beberapa hal sederhana bisa mulai kita coba: kurangi postingan tentang “kebaikan performatif”, perbanyak tindakan nyata tanpa dokumentasi, dan sisihkan waktu untuk refleksi tanpa notifikasi. Gue sendiri lagi coba set dua jam tanpa buka sosial media tiap pagi. Hasilnya? Bukan revolusi, tapi ada ruang buat berpikir.
Kalau mau baca perspektif lain yang kadang nyeleneh tapi ngebuka mata, ada beberapa tulisan yang ngulik hubungan antara agama dan budaya populer—gue pernah nemu di devilandgod yang bikin ngikik sekaligus mikir. Tidak perlu setuju semua, yang penting membuka percakapan.
Pada akhirnya, agama bertemu Instagram bukan soal siapa yang benar atau salah, melainkan tentang bagaimana kita menjaga niat dan integritas spiritual dalam dunia yang terus menuntut pertunjukan. Makna hidup mungkin nggak akan muncul di feed, tapi ia bisa tumbuh di sela-sela detik ketika kita memilih hadir tanpa filter.
Jadi, kalau lagi pengen pamer kebaikan, coba pikir lagi: apakah niatnya menebar kebaikan atau sekadar mencari validasi? Gue sendiri masih berproses, kadang lupa, kadang berhasil. Yang penting, tetap nanya, tetap meraba, dan tetap berani diam sejenak. Karena di diam itu kadang muncul jawaban-jawaban kecil yang selama ini kita cari-cari lewat layar.