Ketika Iman Bertemu Aplikasi: Refleksi Spiritual di Era Digital

Data dan Doa: Pertemuan Dua Dunia (Informasi)

Pernah nggak sih kamu ngerasa lagi buka aplikasi doa di ponsel, terus dapet notifikasi promo diskon baju? Saya sering. Lucu, sekaligus agak miris. Di satu sisi, iman mencari ketenangan. Di sisi lain, algoritma mengejar klik. Zaman sekarang iman dan aplikasi bertemu di layar kecil yang kita panggil “teman.” Mereka saling bersinggungan tanpa harus undang dulu.

Kalau kita lihat dari sudut pandang praktis, banyak hal baik yang datang dari digitalisasi spiritual: aplikasi pengingat doa, komunitas online, khotbah yang bisa ditonton ulang, bahkan meditasi terpandu yang membantu orang yang dulu nggak pernah mediasi. Teknologi membuat akses ke sumber-sumber rohani jadi lebih mudah. Tidak ada lagi alasan “saya tidak sempat” ketika ceramah favorit bisa diputar di pagi hari sambil menunggu kopi.

Ngopi Dulu: Cerita Ringan tentang Notifikasi Rohani

Saya ingat suatu kali, sedang duduk santai, membuka aplikasi Alkitab. Tiba-tiba muncul notifikasi: “Rekomendasi ayat hari ini”—lalu di bawahnya ada iklan kursus manajemen waktu. Ironis? Sedikit. Menggelikan? Benar. Kehidupan modern memang penuh kontradiksi. Kita hidup di era di mana ayat suci dan iklan pop-up sama-sama berebut perhatian.

Tapi jangan salah. Hal-hal kecil macam notifikasi itu juga mengajarkan sesuatu: apa yang kita izinkan masuk ke ruang batin kita akan menentukan ritme. Kalau kita biarkan aplikasi yang atur mood, lama-lama kita jadi tergantung. Bukan berarti harus memutuskan teknologi. Tidak. Hanya perlu waspada. Sama seperti memilih teman ngobrol, pilih juga konten yang isi hatimu, bukan cuma mengisi waktu luang.

Jangan Biarkan Notifikasi Menjadi Imammu (Nyeleneh)

Bayangkan kalau imam gereja digantikan notifikasi. “Shalom! Mari berdonasi untuk…” Suara pemberitahuan lebih sering jadi imam daripada manusia. Konyol, kan? Tapi ada benarnya. Ketika aplikasi menjadi sumber utama inspirasi rohani, kita berisiko kehilangan ruang hening untuk renungan pribadi.

Ritual itu penting. Entah itu doa pagi, meditasi, atau sekadar menulis jurnal syukur. Ritual memberi jangkar. Kalau jangkar digantikan oleh timeline yang terus bergulir, kita gampang oleng. Jadi, pesan saya: reserve some sacred time. Matikan notifikasi. Mulai dari hal kecil—misalnya, nonaktifkan semua kecuali panggilan keluarga selama 30 menit pertama setelah bangun. Coba. Rasakan bedanya.

Antara Komunitas Online dan Kehangatan Nyata

Satu keuntungan besar era digital adalah komunitas. Kita bisa bergabung dengan kelompok doa atau diskusi filsafat di ujung dunia, tanpa harus naik kereta. Rasanya hangat. Tapi hangatnya lain. Ada kedekatan jarak, tapi kadang ada kehampaan sentuhan. Komentar “Amin” di bawah postingan nggak selalu menggantikan pelukan ketika teman sedang kehilangan.

Bukan berarti kita harus menolak komunitas online. Saya malah sering menemukan teman diskusi yang membuka cara pandang baru. Sumber-sumber seperti devilandgod misalnya, bisa jadi jembatan untuk berpikir lebih kritis tentang iman dan kehidupan modern. Yang penting adalah menjaga keseimbangan—memanfaatkan jaringan tanpa lupa hadir di dunia nyata.

Refleksi: Iman Sebagai Pilihan, Bukan Notifikasi

Akhirnya, yang ingin saya sampaikan sederhana. Iman bukan aplikasi. Iman bukan sesuatu yang bisa diatur reminder-nya lalu dilupakan sampai notifikasi berikutnya. Iman adalah latihan, dialog, perjalanan. Digital membantu memberi peta, tapi kita tetap harus berjalan sendiri. Kadang cepat, kadang terhuyung.

Kalau kamu sedang bergelut dengan pertanyaan besar tentang kehidupan—tentang Tuhan, makna, atau hanya sekadar “kenapa aku begini”—tidak apa-apa mencoba menggunakan teknologi sebagai alat. Pilih aplikasi yang menuntun, bukan yang mengalihkan. Namun jangan lupa mematikan sejenak layar itu, duduk diam, tarik napas, dan dengarkan suara di dalam. Di sana seringkali jawaban paling jujur muncul.

Jadi, ngopi lagi? Saya ambil satu gelas lagi, dan mari kita terus jaga iman tetap manusiawi di tengah lautan sinyal. Santai saja. Jalanin. Pelan-pelan. Tetapi jangan lupa, sesekali matikan ponsel dan dengarkan hati. Itu juga butuh wi-fi, tapi wi-fi-nya sudah include: hati yang terbuka.

Leave a Reply