Mencari Tuhan di Tengah Scroll Tak Berujung
Siang bolong, mata melotot ke layar
Dulu, ketika jam reklame masih sederhana dan berita datang lewat radio, mencari makna terasa seperti jalan yang lebih jelas. Sekarang? Aku bisa duduk di kafe, buka Instagram, Twitter, YouTube, lalu tanpa sadar sudah dua jam hilang di lubang video rekomendasi. Kadang aku berpikir: apakah ini cara baru berdoa—menyembah layar sampai baterai habis? Tentu saja aku bercanda. Tapi ada titik di mana tawa berubah jadi keheningan, dan di sanalah pertanyaan-pertanyaan tua muncul lagi: Di mana Tuhan dalam feed yang tak berujung ini?
Scroll dulu, taubat nanti?
Kalau kamu tipikal manusia yang suka “sebentar lagi” tiap kali terpikat notifikasi, selamat datang di klub. “Nanti aku bakal baca refleksi spiritual,” kataku pada diriku sendiri sambil menyimpan artikel ke daftar ‘baca nanti’—yang entah kapan akan dibaca. Kita hidup di budaya yang mempromosikan kesegeraan, tapi makna kadang butuh kesunyian. Ada ironi lucu di sini: kita ingin hubungan mendalam, tapi kita memilih hubungan dangkal dengan layar. Waktu-waktu ketika aku mematikan ponsel dan hanya duduk diam, barulah muncul rasa lega. Bukan karena ponselnya mati, tapi karena ruang untuk bertanya terbuka kembali.
Ngopi sama eksistensi
Ada momen kecil yang lucu: ketika aku sedang menunggu kopi, aku melihat ibu-ibu berdzikir dengan tenang di sudut warung. Ponselnya? Ditinggal di tas. Mereka tidak membutuhkan surround-sound digital untuk terhubung dengan yang transenden. Aku pun tersadar, mungkin koneksi itu bukan soal teknologi tapi ritme. Ritme ibadah, ritme hening, ritme mengulang nama-Nya—sesuatu yang feed algoritma tak bisa tiru. Aku pun mencoba: menutup mata, tarik napas, hitung sampai lima. Tidak langsung pencerahan, tapi ada ketenangan kecil. Cukup untuk menyadarkan bahwa ada cara lain berinteraksi dengan realitas selain swipe dan like.
Tuhan ada di ujung feed? (Spoiler: mungkin bukan di sana)
Beberapa orang bilang, “Tuhan juga ada di media sosial kok.” Mungkin benar, kalau Tuhan mau masuk ke DM dan mulai nge-reply. Tapi bagiku, keberadaan Tuhan lebih sering terasa di tempat-tempat biasa: tangan yang memberi tanpa pamer, senyum yang tidak dipoles filter, dan tindakan kecil yang tidak perlu dokumentasi. Sementara itu, banyak pesan spiritual yang di-share juga menjadi bagian dari kompetisi estetika: siapa yang paling bijak, siapa yang paling puitis. Aku tak mau mengecilkan niat baik, tapi ada perbedaan besar antara memamerkan kebaikan dan benar-benar berbuat baik.
Belajar diam di era kebisingan
Saat pandemi dulu, aku sempat merasa terdorong untuk memperdalam hubungan spiritual. Aku baca buku-buku tua, ikut kajian online, dan mencoba meditasi. Hasilnya? Campuran. Kadang aku merasa tercerahkan, kadang kepikiran caption Instagram. Yang penting, aku belajar membuat kebijakan kecil: waktu tanpa layar setiap hari, walau hanya 15 menit. Itu bukan aturan suci, hanya eksperimen pribadi yang membuat aku lebih hadir. Kehadiran itu sendiri sudah ibadah—bukan karena orang lain tahu, tapi karena aku lebih benar-benar hidup.
Menjaga iman dalam bentuk yang ramah zaman
Tidak semua yang modern mesti ditolak. Aku setuju, teknologi bisa memudahkan gerakan keagamaan—kajian, doa bersama, komunitas. Tapi jangan sampai alatnya menggeser tujuan. Tujuan spiritual tidak pernah meminta kita menjadi konten kreator atau terus-menerus menunggu validasi like. Kadang Tuhan hadir lewat ketidakterdugaan: obrolan panjang dengan teman yang sedang sedih, membantu tetangga yang kesusahan, atau mendengarkan lagu lama sampai membuat kita menangis tanpa alasan. Itu tindakan nyata yang algoritma tidak bisa ukur dengan baik.
Jadi, bagaimana caranya mencari Tuhan di tengah scroll yang tak pernah berhenti? Jawabannya mungkin sederhana: kurangi sedikit saja kebisingan, buka ruang hening, dan biarkan pertanyaan-pertanyaan lama muncul. Bukan supaya kita punya jawaban instan, tetapi supaya kita kembali terbiasa bertanya. Karena dalam bertanya itu, seringkali kita sudah sedang berdoa. Kalau mau baca hal-hal yang bikin mikir (atau mungkin bikin ketawa sambil introspeksi), cek juga devilandgod — tapi ingat, jangan sampai itu menggantikan waktu duduk diammu sendiri.
Di akhir hari, aku masih melawan godaan untuk scroll sebelum tidur. Kadang menang, kadang kalah. Tapi ada kenyamanan dalam perjuangan kecil itu—karena setiap kali memilih diam, aku merasa lebih dekat, entah pada Tuhan, entah pada diriku sendiri. Dan itu sudah cukup untuk hari ini.