Mengapa Kita Selalu Kembali ke Pertanyaan Besar
Ada malam-malam ketika saya hanya duduk di balkon, tangan menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin, dan tiba-tiba segala sesuatu terasa seperti teka-teki yang harus dipahami ulang. Tuhan, makna hidup, dan cara kita menjalani hari-hari yang tampak sepele—semua berkumpul dalam bisik kecil itu. Saya tidak sedang mengklaim punya jawaban. Malah, sering kali ngobrol dengan diri sendiri membawa lebih banyak pertanyaan daripada kepastian.
Pada suatu waktu saya pernah ikut diskusi filsafat di sebuah kafe kecil. Orang-orang mengutip Plato, Arendt, dan beberapa kutipan manis dari buku self-help. Di luar, hujan turun setia. Saya pulang dengan selusin catatan, dan satu kesimpulan sederhana: filsafat memberi kita alat untuk merawat kebingungan, bukan untuk menghilangkannya.
Apakah Filsafat Bisa Menjawab Kekosongan?
Saya kerap bertanya seperti itu pada diri sendiri, sambil menyeduh kopi kedua. Bukankah agama memberi jawaban moral dan ritus yang menenangkan? Bukankah filsafat menawarkan argumen yang rapi? Tapi ada momen ketika doa terasa seperti monolog tanpa gema, dan argumen filosofis seperti teka-teki matematis yang indah tetapi dingin. Di sinilah saya merasa perlu jujur: jawaban tidak selalu datang dari luar—kadang ia lahir dari cara kita mendengarkan hati sendiri.
Pernah suatu pagi saya mencoba eksperimen kecil: mengganti scroll media sosial dengan baca esai tentang eksistensialisme dan refleksi spiritual selama seminggu. Hasilnya aneh; beberapa hari saya merasa tercerahkan, beberapa hari lain saya merasa lebih bingung. Namun yang pasti, latihan itu mengajari saya sesuatu yang penting—menerima ketidakpastian itu sendiri bisa menjadi bentuk kedamaian.
Ngopi Dulu, Baru Nalar
Santai, ini bukan manifesto. Ini cerita harian. Kopi selalu punya peranan dalam ritual refleksi saya. Ada aroma pahit yang entah kenapa menambal celah di antara kata-kata besar tentang Tuhan dan makna. Satu teguk, dan lembutnya realitas kembali menempel: anak tetangga berterima kasih pada pagi yang cerah, motor lewat dengan musik yang tidak sesuai selera, dan daun pohon bergerak seperti kabar kecil dari alam.
Saya percaya spiritualitas tidak melulu soal pengalaman mistik maha besar. Bisa jadi ia adalah cara kita berbuat baik pada orang di sekitar: menyalakan kompor untuk tetangga sakit, menyuguhkan kopi hangat pada teman yang sedang lelah, atau cuma mendengarkan cerita orang tua. Dalam tindakan sederhana itu ada jejak Tuhan, atau setidaknya ada etika yang membuat hidup lebih bisa ditanggung.
Sekilas Opini: Agama, Filsafat, dan Keseharian
Kalau ditanya mana yang “lebih benar”, saya akan menghindar menjawab. Agama menawarkan kisah yang mengikat komunitas, ritual yang meneduhkan, dan narasi yang membuat duka tidak terasa sendirian. Filsafat mengasah kemampuan berpikir, membuat argumen, dan mempertanyakan asumsi. Keduanya punya tempatnya. Dalam praktiknya, saya mencari pertemuan mereka—ketika doa diiringi refleksi kritis, atau ketika argumen filsafat dipraktikkan dengan empati.
Saya pernah menulis hal-hal sejenis di blog lain, dan menemukan komunitas kecil yang terbuka pada percakapan tak nyaman. Salah satu sumber yang menarik untuk bacaan ringan tapi tajam adalah devilandgod, yang sering menyajikan tulisan-tulisan tentang tegangan antara iman dan kritisisme. Saya tidak selalu sependapat, tapi saya menghargai ruang untuk bertanya tanpa dihajar jawaban penuh kepastian.
Penutup: Percakapan yang Terus Berlanjut
Ngobrol dengan diri tentang Tuhan, filsafat, dan kopi bukanlah perjalanan yang rampung. Ini seperti berjalan di pasar malam yang lampu-lampunya redup: kadang kita menemukan benda berharga, kadang kita cuma menikmati aroma. Yang penting adalah bahwa kita tetap hadir, mau mendengar suara kecil di dalam, dan kadang berani berubah arah ketika obrolan itu menuntutnya.
Saya menutup malam dengan sisa kopi, menulis beberapa kalimat di buku catatan, lalu tidur tenang. Bukan karena semua sudah terjawab, tetapi karena ada kerelaan untuk terus menanyakan. Dan kalau esok pagi saya butuh bahan obrolan lagi, saya tahu: ada lebih banyak kopi, lebih banyak buku, dan lebih banyak diri yang mau diajak berbicara.